Wondama, wabumpapua.com— Tepat seratus tahun yang lalu, di pesisir Miei, Manokwari, seorang hamba Tuhan bernama Dominee Izaak Samuel Kijne mengucapkan kalimat yang kelak menjadi salah satu warisan spiritual terbesar bagi Tanah Papua.
“Di atas Batu ini, saya meletakkan Peradaban bangsa Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat untuk memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin bangsanya sendiri.”
(I.S. Kijne, Miei – 25 Oktober 1925)
Ucapan tersebut kemudian dikenal sebagai “Batu Peradaban”, dan kini, genap 100 tahun sejak nubuatan itu diucapkan, banyak pihak menilai kata-kata itu semakin menemukan maknanya di tengah kebangkitan iman dan kesadaran bangsa Papua terhadap jati dirinya.
Penelusuran sejarah menunjukkan bahwa Izaak Samuel Kijne bukan sekadar seorang penginjil Belanda biasa. Ia lahir dari garis keturunan Yahudi, karena dalam tradisi Yahudi, setiap anak yang lahir dari seorang ibu Yahudi otomatis dianggap sebagai Yahudi.
Nama Izaak Samuel sendiri diwarisi dari kakeknya, Ishak Samuel Fegee, yang juga dikenal sebagai seorang Yahudi taat. Artinya, Kijne adalah seorang Yahudi yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Mesias dan Juruselamat.
Menurut pengamatan rohani dan teologis, nubuatan Kijne memiliki kemiripan dengan penglihatan nabi Yehezkiel dalam Yehezkiel 37:1–14 tentang tulang-tulang kering — gambaran tentang bangsa Israel yang akan dibangkitkan oleh kuasa Roh Allah.
Demikian pula, Kijne berbicara tentang kebangkitan bangsa Papua, yang suatu hari akan berdiri tegak, memimpin dirinya sendiri, dan menjadi bangsa yang beradab serta beriman kepada Kristus.
Sebagaimana diungkapkan oleh Frida Athaboe, pemerhati sejarah dan tokoh gereja, nubuatan Kijne bukanlah sekadar kata simbolik, tetapi merupakan isi hati Allah sendiri bagi bangsa Papua.
“Kata-kata yang diucapkan 100 tahun lalu itu pasti akan digenapi, karena itu adalah isi hati dari Tuhannya, Mesiasnya, dan Rajanya — Yesus Kristus. Nubuatan itu akan mencari jalannya sendiri, bekerja dengan cara-cara ilahi, bukan cara manusia, untuk mencapai kegenapannya,”
ujar Frida Athaboe dalam refleksi iman memperingati 1 Abad Batu Peradaban.
Seratus tahun nubuatan Kijne bukan sekadar peringatan historis, tetapi momentum rohani dan moral bagi seluruh rakyat Papua untuk merenungkan makna sejati dari “bangkit dan memimpin bangsanya sendiri.”
Peradaban yang dimaksud Kijne bukanlah kekuasaan politik semata, melainkan peradaban iman, pengetahuan, dan kasih Kristus yang membentuk manusia Papua menjadi mandiri, berkarakter, dan berpengharapan.
Kini, satu abad kemudian, kata-kata Kijne terus bergema dari Miei ke seluruh tanah Papua. Nubuatan itu hidup dalam doa, pelayanan, pendidikan, dan perjuangan umat Tuhan di tanah ini.
Haleluya! Puji Nama Tuhan!
Batu Peradaban itu tetap berdiri menjadi saksi kebangkitan dan harapan bagi bangsa Papua.



komentar terbaru